Senin, 01 Oktober 2012

BENIGNA PROSTATE HIPERPLASI BESERTA PATHWAY WOC

TINJAUAN TEORI

A.    Definisi
-          Benigna prostate hiperplasi (BPH) adalah pembesaran secara progresif dari kelenjar prostate (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat abstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000)
-          Benigna prostate hiperplasi (BPH) adalah pembesaran prostate yang menyumbat uretra, menyebabkan gangguan urinarius (sandra M. nettina, 2002)

B.     Etiologi
Sampai saat ini, etiologi benigna prostate hiperplasi belum di ketahui secara pasti penyebab terjadinya. Tetapi hipotesis menyebutkan bahawa hiperplasi prostate erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestoteron (DTH) dan proses aging (menjadi tua). (Arief mansjoer, et al, 2000)
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostate adalah :
  1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosterone dan estrogen pada usia lanjut
  2. Peranan dari growth faktor sebagai pemacu pertumbuhan stroma Kelenjar prostate
  3. Meningkatkannya lama hidup sel-sel prostate karena berkurangnya sel yang mati.
  4. Proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan epitel Kelenjar prostate menjadi berlebihan

C.     Klasifikasi
Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong, 2002
Derajat
Colok dubur
Sisa volume urine
I
II
III
IV
Penonjolan prostate, batas atas mudah diraba
Penonjolan prostate jelas, batas atas dapat dicapai
Batas atas prostate tidak dapat diraba
Batas atas prostate tidak dapat diraba
< 50 ml
50 – 100 ml
> 100 ml
retansi urine total

D.    Tanda dan gejala
-          Frekuensi : sering miksi / kencing
-          Sering terbangun untuk miksi pada malam hari
-          Perasaan ingin miksi yang mendesak
-          Nyeri pada saat miksi
-          Pancaran urine melemah
-          Rasa tidak puas sehabis miksi
-          Harus mengejan saat miksi

E.     Patofisiologi
Proses pembesaran prostate ini terjadi secara perlahan-lahan, sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine, keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor (menebal dan meregang) sehingga terbentuklah selula, sekula dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan detrusor ini disebut juga fase kompensasi. Dan apa bila berlanjut, maka detrusor akan mengalami kelelahan dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi, sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. (Arief Manjoer, et al, 2000)
Turp merupakan pembedahan bph yang paling sering di lakukan dimana endoskopi dimasukkan melalui penis (uretra). Cara ini cocok untuk hyperplasia yang kecil. Reseksi Kelenjar prostate dilakukan ditrans-uretra yang dapat mengiritasi mukosa kandung kencing sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, untuk itu tindakan ini mempergunakan cairan irigasi (pembilas) agar daerah yang direseksi tidak tertutup darah (www.medikastore.com)
Turp mempunyai beberapa keuntungan antara lain (Doengoes, 2000)
1.      Lama operasi lebih singkat
2.      Tidak menimbulkan sayatan sehingga resiko infeksi akibat luka dapat diminimalkan
Penyulit Turp
(Doengoes, 2000)
1.      Selama operasi = perdarahan sindroma turp
2.      Pasca bedah = perdarahan, infeksi local atau sistemik

F.      Pathway

G.    Pemeriksaan diagnostic (marilyn E. Doenges dan Mary FrancMoushouse, 2000)
IVP            : menunjukkan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostate, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih
Sistourretrografi: digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra karena  ini menggunakan bahan kontras local.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostate dan perubahan dinding kandung kemih

H.    Penatalaksanaan
Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong. 2002
-          Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.
-          Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection / tur)
-          Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sbaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans vesikal retropublik/perianal
-          Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter

I.       Nursing Care Plan
  1. Pengkajian
Menurut Doegoes (2000)
a.       Sirkulasi
Tekanan darah meningkat
b.      Eliminasi
-          Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine, urine menetes
-          Adanya keragu-raguan pada awal berkemih
-          Tidak mampu untuk mengosongkan kandung kemiih secara tuntas adanya dorongan dan peningkatan frekuensi untuk berkemih
-          Nokturia, disuria, hematuria
-          Bila untuk duduk ada keinginan untuk berkemih
-          Nyeri tekan kandung kemih
c.       Makanan/cairan
Anoreksia : mual, muntah
Penurunan berat badan
d.      Nyeri/kenyamanan
Nyeri suprapubik, pinggul, punggung, sifat nyeri tajam dan kuat.
Nyeri punggung bawah
e.       Keamanan
Demam
f.       Seksualitas
Takut inkontensia/menetes selama melakukan hubungan intim
Adanya penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
  1. Diagnosa keperawatan
a.       Retensi urine ybd obstrtuksi skd terhadap BPH (Nanda, 2002)
Tujuan : tidak terjadi retensi setelah dilakukan tindakan keperawatan
KH : klien akan berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi vesika urinaria.
Klien akan menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml. dengan tidak ada tetesan/kelebihan aliran
Intervensi :
1.          Dorongan klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
2.          Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
3.          Dikaji dan dicatat waktu dan jumlah tiap berkemih
4.          Perkusi / palpast area suprapublik
5.          Ajarkan teknik relaksasi saat berkemih
6.          Kolaborasi untuk pemasangan kateter
b.      Cemas ybd kurangnya informasi skd terhadap tindakan pembedahan. (Nanda, 2002)
Tujuan : kecemasan klien berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
KH : menghubungkan peningkatan kenyamanan
Menggunakan mekanisme koping yang efektif
Intervensi
1.         Kaji tingkat kecemasan
2.         Berikan informasi tentang prosedur yang akan dilakukan
3.         Dorong pasien untuk menyatakan perasaannya
4.         Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
c.       Nyeri akut ybd agen injuri mekanik. (Nanda, 2002)
Tujuan : nyeri dapat ditoleransi klien setelah dilakukan tindakan keperawatan
KH :
-          Klien rileks
-          Mengungkapkan nyeri hilang atau terkontrol
-          Skala nyeri 1-2
Intervensi
1.               Kaji skala nyeri klien
2.               Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
3.               Berikan tindakan kenyamanan seperti Pijat punggung, membantu klien melakukan tirah baring yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi atau latihan nafas.
4.               Berikan terapi analgetik
d.      Resiko infeksi ybd sisi masuknya mikroorganisme skd terhadap prosedur dan alat invasive. (Nanda,  2002)
Tujuan : tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
KH :
-          Tidak ada tanda-tanda infeksi
-          TTV dalam batas normal
Intervensi : 
1.               Perhatikan sistem kateter steril
2.               Awasi tanda vital
3.               Kaji adanya tanda-tanda infeksi
4.               Berikan antibiotic sesuai indikasi
e.       PK perdarahan. (Lynda Juall Carpenito, 2001)
Tujuan : meminimalkan terjadinya perdarahan
KH :
-          Urine jenih
-          TTV dalam batas normal
-          Hb dalam batas normal
Intervensi :
1.      kaji TTV
2.      Kaji dan monitor perdarahan
3.      Kolaborasi dengan dr untuk irigasi NaCl 
4.      Kolaborasi dengan dr untuk permeriksaan Hb
  
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah. Edisi 8, Jakarta 2002
Brunner dan suddarth. Buku Saku Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC; 2002
Carpenito Lynda Jual, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta, EGC : 2001
Doengoes E. maryline. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta, EGC: 2000
Mansjoer. Dkk.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000
Nanda diagnosis keperawatan, 2002, Alih Bahasa Mahasiswa PSIK – BFK UGM Angkatan 2002
Nettina, sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta, EGC : 2002
Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2002

Minggu, 30 September 2012

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAAT HIPERPLASI



A.    Definisi
-          Benigna prostaat hiperplasi (BPH) adalah pembesaran secara progresif dari kelenjar prostaat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000).
-          Benigna prostaat hiperplasi (BPH) adalah pembesaran prostaat yang menyumbat uretra, menyebabkan gangguan urinarius (Sandra M. Nettina, 2002).

B.     Etiologi
Sampai saat ini, etiologi benigna prostaat hiperplasi belum diketahui secara pasti penyebab terjadi. Tetapi hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostaat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrostesteron (DTH) dan proses aging (menjadi tua) (Arief Mansjoer, 2000).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostaat adalah :
  1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormone testosterone dan estrogen pada usia lanjut.
  2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostaat.
  3. Meningkatkannya lama hidup sel-sel prostaat karena berkurangnya sel yang mati.
  4. Proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan epitel kelenjar prostaat menjadi berlebihan.

Klasifikasi
Menurut R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong, 2002
Derajat
Colok Dubur
Sisa Volume Urine
I
II
III
IV
Penonjolan prostaat, batas atas mudah diraba
Penonjolan prostaat jelas, batas atas dapat dicapai
Batas atas prostaat tidak dapat diraba
Batas atas prostaat tidak dapat diraba
< 50 ml
50-100 ml
> 100 ml
retansi urine total

Tanda dan Gejala
-          Frekuensi : sering miksi/ kencing
-          Sering terbangun untuk miksi pada malam hari
-          Perasaan ingin miksi yang mendesak
-          Nyeri pada saat miksi
-          Pancaran urine melemah
-          Rasa tidak puas sehabis miksi
-          Harus mengejan saat miksi

C.     Patofisiologi
Proses pembesaran prostaat ini terjadi secara perlahan-lahan, sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine, keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor (menebal dan meranggang) sehingga terbentuklah sekula, sekula dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan detrusor ini disebut juga fase kompensasi. Dan apabila berlanjut, maka detrusor akan mengalami kelelahan dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi, sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Arief Mansjoer, 2000).
Turp mempunyai beberapa kemampuan keuntungan antara lain (Doengoes, 2000) :
  1. Lama operasi lebih singkat
  2. Tidak menimbulkan sayatan sehingga resiko infeksi akibat luka dapat diminimalkan
Penyulit Turp
(Doengoes, 2000)
  1. Selama operasi = perdarahan sindroma turp
  2. Pasca bedah = perdarahan, infeksi lokal atau sistemik

D.    Manifestasi Klinis
Obstruksi prostaat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
a.       Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri :
1.      Gejala obstruksi
-          Hipertensi
Terjadi karena destrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
-          Inter-mitensi
Terjadi karena destrator tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal driobling dan rasa belum puas sehingga miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.




-          Nokturia :
Terjadi karena pengosongan urine saat miksi belum lengkap. Pada saat malam hari, ketegangan otot (tonus) menurun. Dengan penurunan ketegangan otot sfinofer (tonus) dan masih adanya urin di dalam buli-buli maka urine akan keluar dengan sendirinya.
-          Frekuensi meningkat
Hal ini diakibatkan karena belum lengkapnya urine yang keluar pada tiap miksi, sehingga buli-buli akan cepat penuh kembali dan merangsang untuk miksi, sehingga interval miksi lebih pendek.
-          Urbensi dan disuria
Sebetulnya hal ini jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan ditrusor sehingga kontraksi mengalami involunter.
-          Inkontinensia
Bukan merupakan gejala yang khas, walaupun berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai komplikasi maksimum, maka tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat otot buli-buli akan mengalami kelelahan sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, antara lain :
  1. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan/ minuman yang mengandung diuretika (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
  2. Masa prostate tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual/ mengalami infeksi prostate akut.
  3. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot destrusor/ yang data mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

b.    Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyakit hyperplasia prostate pada saluran kemih atas berupa gejala obstruksi antar lain nyeri pinggang, adanya benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi/ urodepsia.
c.       Gejala di luar saluran kemih
Klien yang mengalami keluhan adanya herno inguinalis atau hemoroid, sering diakibatkan mengerjakan saat miksi, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabnorminal.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang tensi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfesis akibat adanya retensi urine kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes pertanda dari inkontinensia paradoksa.
Pemeriksaan Penunjang
a.       Laboratorium
1.      Urinalisa
Warna kuning, coklat gelap, merah gelap, terang (berdarah), penampilan kerah, pH 7 atau lebih besar (menurunkan infeksi) : adanya bakteri sel darah putih, sel darah merah mungkin secara mikroskopis.
2.      Sedimen urine
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi/ inflamasi pada saluran kemih.
3.      Kultur urine
Untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensilifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan, dapat menunjukkan staphylococcus oureus, proteus, klebsiella, pseudomonas atau E.60.

4.      Sitologi urine
Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
5.      Faal ginjal
Untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
6.      BUN/ kreatinin, meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi
7.      Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik
Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostate (dapat mengidentifikasikan metastase tulang).
8.      Sel darah putih (leukosit)
Mungkin lebih dari 11.000 mengidentifikasikan infeksi bila klien tidak imunosupresi.
9.      Gula darah
Untuk mencari kemungkinan adanya penyakit DM yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli nerogen).
b.      Radiologi
1.      Foto polos abdomen
Untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih adanya batu/ kalkulosa prostate dan kadang kala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine yang merupakan tanda dari suatu referensi urine.
2.      Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya :
a.       Kelainan pada ginjal maupun urefer berupa hidroureter/ hidronefrosis.
b.      Memperkirakan besarnya kelenjar prostate yang ditunjukkan oleh adanya identasi prostate (pendesakan buli-buli oleh kelanjar prostate) atau urefer di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail/ nooked fish.
c.       Penyulit uang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sekuli buli-buli.
3.      Ultrasonografi transrektal
Digunakan untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostate, adanya kemungkinan pembesaran prostate maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostate menentukan jumlah residu urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli-buli, melokalisasi lesi yang tidak berhubungan dengan BPH.
4.      Pemeriksaan derajat obstruksi prostate dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
a.       Residu urine
Jumlah sisa urine setelah miksi, sisa urine ini dapat ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
b.      Pancaran urine/ flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/dt) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urine.
5.      Sistouretrografi berkemih
Digunakan sebagai pengganti IV P untuk menvisualisasi.

Pengobatan
Tujuan terapi pada klien, hiperplasi prostate adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara :
a.       Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk :
1.      Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa bloker (penghambat alfa adrenengik). Alat penghambat alfa adrenergic adalah fenoksi benzamin dan fentolamin. Golongan obat ini mempunyai efek sistemik yang merugikan yaitu hipertensi postural.
b.      Operasi
Tindakan operasi ditujukan pada hyperplasia prostate yang sudah menimbulkan penyakit tertentu, missal : retensi urine, batu saluran kemih hematari, infeksi saluran kemih, tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi terbuka/ operasi endourologi transuretra.

1.      Pembedahan terbuka
Teknik operasi prostatektomi terbuka yaitu menggunakan metode dari miliin yaitu dengan melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropupik intravesika. Metode Freyer. Melalui pendekatan suprapublik transversika dan transperineal.
2.      Pembedahan Endourologi, pembedahan cara ini dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP (Trans Uretial Resection off the Prostat) atau dengan memakai energi laser yaitu TULP (Trans urethra laser of the prostate)
Pada pemeriksaan toucher pada tonus (colok dubur) perlu diperhatikan :
1.      Tonus sfinger ani/ refleks bulbokavernosus, untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli nerogen.
2.      Mukosa rectum
3.      Keadaan prostat antara lain : kemungkinan adanya modul, krepitasi, konsistensi prostate, simetri antar lobus dan batas prostat.
Pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti merasa ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan modul sedangkan pada karsinoma prostat. Konsistensi prostat keras/ teraba nodul dan mungkin diantar lobus prostate tidak semetri.
 
NURSING CARE PLAN
1.      Nyeri akut
a.       Definisi
Pengalaman sensori dan atau emosional tidak mengorganisasikan yang mutasi akibat adanya desakan jaringan actual atau bacterial serangan nyeri mendadak atau pelan dengan intensitas ringan sampai berat yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya, berlangsung kurang dari 6 bulan.
b.      Batasan Karakteristik
-          Melaporkan secara verbal tentang adanya nyeri
-          Secara meningkat melaporkan adanya skala nyeri seperi 0-10 adanya ketidaknyamanan.
-          Adanya respon nonverbal seperti ekspresi wajah kaku.
-          Hasil observasi menunjukkan adanya kehilangan atau kehilangan atau perasaan kemampuan untuk bergerak melakukan ADL sulit tidur.
-          Tingkah laku yang mengekspresikan merintih, menangis, gelisah, waspada irritable, nafas panjang keluh kesah.
-          Gerakan terbatas melindungi atau berhati-hati, seperti gerakan berkurang.
c.       Faktor Penyempit
-          Otot tegang dan kaku
-          Respon otonomi sempit diaphoresis, peningkatan/ penurunan TB
-          Nadi dilatasi
-          Nafsu makan menurun
-          Sulit tidur
d.      Faktor yang berhubungan
-          Trauma jaringan dan reflek spasme otot
e.       NOC (Nursing Outcomes Classification)
-          Mencapai level nyaman
-          Mengontrol nyeri
-          Melaporkan nyeri
-          Mengurangi efek nyeri
f.       Kriteria Hasil
Indikator
Sering
Agak sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
Klien memahami faktor penyebab nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu menggunakan pencegahan nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu melaporkan tanda-tanda nyeri
1
2
3
4
5
Klien melaporkan adanya penurunan nyeri
1
2
3
4
5
Pengaruh nyeri pada kondisi tubuh
1
2
3
4
5
Klien mampu menunjukkan frekuensi nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu mengungkapkan durasi nyeri
1
2
3
4
5
Ekspresi wajah saat nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu melindungi bagian tubuh yang nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu menunjukkan tekanan otot
1
2
3
4
5
Perubahan respirasi
1
2
3
4
5
Perubahan nadi
1
2
3
4
5
Perubahan tekanan darah
1
2
3
4
5
Perubahan ukuran pupil
1
2
3
4
5
Berkeringat saat nyeri
1
2
3
4
5

g.      Nursing Intervention Classification (NIC)
-          Managemen nyeri
-          Managemen terapi obat analgetik
-          Patien control analgetik
-          Pemulihan sedasi
h.      Rencana Tindakan
-          Identifikasi nyeri pada klien melalui pengkajian nyeri secara teratur, meliputi P,Q,R,S,T.
-          Anjurkan klien untuk melaporkan pengalaman nyeri dan metode menangani nyeri yang terakhir dilakukan.
-          Identifikasi penyebab nyeri hebat yang tidak turun.
-          Identifikasi kebutuhan analgetik, narkotik bagi klien.
-          Identifikasi kebiasaan penggunaan obat bagi klien.
-          Berikan obat non opiate (asetaminofen) Cox-2 inhibitor atau insaid jika tidak kontraindikasi.
-          Berikan obat analgetik opiate khususnya pada nyeri akut yang hebat secara oral atau intravena jaringan IM.
-          Diskusikan dengan klien tentang kecemasan atau ketakutan klien terhadap pengobatan nyeri seperti overdosis.
-          Saat memberikan obat analgetik opiate kaji intensitas nyeri, obat ngantuk.
-          Berikan suplemen opiate sesuai kebutuhan.
-          Jika klien mampu intoleransi analgetik oral, jangan diberi dengan metode (relaksasi, distraksi).
-          Jelaskan efek samping inside terutama bagi lansia.
2.      Cemas
a.       Definisi
Perasaan gelisah yang tidak jelas dan ketidaknyaman atau ketakutan yang disertai respon autonom (sumber tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman yang akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menyetujui terhadap tindakan.
b.      Batasan Karakteristik
1)     Perilaku
-          Produktivitas berkurang
-          Kontak mata yang buruk
-          Gelisah
-          Resah


2)      Affektive
-          Penyesalan
-          Irritable
-          Ketakutan
-          Perasaan tidak adekuat
-          Distress
-          Kekhawatiran, prihatin
3)      Fisiologis
-          Suara gemetar
-          Goyah
-          Respirasi meningkat
-          Nadi meningkat
-          Nyeri abdomen
-          Gangguan tidur
-          Wajah tegang
-          Jantung berdetak kuat
4)      Kognitif
-          Blocking isi pikir
-          Bingung
-          Keasikan
-          Ketakutan terhadap hal yang tidak jelas
c.       Faktor yang berhubungan :
-          Ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap kegagalan.
d.      NOC (Nursing Outcomes Classification)
-          Mampu mengontrol /mentolerir cemasnya
e.       Kriteria Hasil
Indikator
Tidak pernah
Jarang
Kadang-kadang
Sub stansial
Ekstensive
Klien tak gelisah
     1
2
3
4
5
Ekspresi wajah tak ketakutan
1
2
3
4
5
Klien lebih tenang
1
2
3
4
5
Klien mampu memonitor intensitas dari kecemasan
1
2
3
4
5
Klien mampu menghilangkan penyebab kecemasan
1
2
3
4
5
Klien mampu mencari informasi untuk mengurangi nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu merencanakan koping strategi untuk mengatasi stress
1
2
3
4
5
Klien mampu menggunakan strategi koping yang efektif
1
2
3
4
5
Klien mampu menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri
1
2
3
4
5
Klien mampu melaporkan keadekuatan tidur
1
2
3
4
5
Klien mampu mengontrol kecemasan
1
2
3
4
5

f.       Rencana Tindakan
-          Identifikasi level perubahan sikap dan kecemasan klien
-          Bantu klien dalam mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan
-          Kurangi level ansietas klien dengan penjelasan prosedur secara garis besar dan tujuan operasi dengan singkat, mampu dimengerti.
-          Managemen lingkungan untuk mengurangi kecemasan klien.
-          Bicarakan dengan tim medis lain untuk melakukan komunikasi yang akrab dengan pasien sebelum operasi dimulai.



3.      Resiko jatuh
a.       Definisi : Peningkatan kerentanan untuk terjatuh
b.      NOC (Nursing Outcomes Classification)
Resiko untuk jatuh dapat diminimalkan sampai dengan tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan
c.       Kriteria hasil
Indikator
Tidak adekuat
Kurang adekuat
Agak adekuat
Lebih adekuat
Adekuat
Bila perlu gunakan restrain
1
2
3
4
5
Mencari bantuan saat aktivitas
1
2
3
4
5
Mampu mengontrol agitasi
1
2
3
4
5
Mengetahui syarat penggunaan alat bantu
1
2
3
4
5
Mengetahui faktor penghalang untuk mencegah jatuh
1
2
3
4
5
Mengoreksi penggunaan alat bantu
1
2
3
4
5
Menghilangkan sesuatu yang melicinkan permukaan lantai
1
2
3
4
5
Penggunaan tangga
1
2
3
4
5
Penggunaan keset pada kamar mandi
1
2
3
4
5
Menggunakan prosedur yang aman pada saat beraktivitas
1
2
3
4
5

d.      NIC (Nursing Intervention Classification)
1)      Pencegahan jatuh
-          Monitor gaya berjalan keseimbangan dan kelelahan saat ambulasi
-          Bantu klien saat ambulasi
-          Memasang restrain, bila perlu
-          Anjurkan klien untuk meminta bantuan saat aktivitas 
2)      Environment management safety
-          Gunakan alat – alat proteksi (misalnya : Restrain)
-          Monitor Lingkungan untuk mengontrol status aktivitas
3)      Surveillance
-          Monitor strategi koping dari pasien dan keluarga
-          Monitor cara tidur klien
-          monitor status nutrisi, bila perlu
-          Monitor perfusi jaringan
-          Monitor oksigenasi
-          Monitor TTV
-          Monitor status neurologist
4.      Resiko Infeksi
a.       Definisi: peningkatan resiko masuknya organisme pathogen.
b.      Tujuan
Resiko infeksi pada klien dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
c.       Kriteria Hasil :
Indikator
Selalu
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Tidak pernah
a.  Menunjukkan penyebaran infeksi
b.  Menunjukkan penambahan penularan infeksi
c.  Menunjukkan cara mengontrol infeksi
d.  Menunjukkan tanda dan gejala infeksi
e.  Menunjukkan peningkatan resistensi
f.  Menunjukkan perawatan infeksi
g.  Menunjukkan bentuk penularan
h.  Menunjukkan faktor penyebab penularan
1

1


1

1

1

1

1

1
2

2


2

2

2

2

2

2

3

3


3

3

3

3

3

3

4

4


4

4

4

4

4

4

5

5


5

5

5

5

5

5


d.      Rencana Tindakan  :
1)      Observasi TTV
2)      Observasi tanda dan gejala infeksi baik lokal dan sistematik
3)      Jaga balutan luka tetap kering dan bersih
4)      Jelaskan pada klien dan keluarga tentang tanda-tanda infeksi
5)      Anjurkan untuk makan makanan yang tinggi protein
6)      Laksanakan pemberian terapi antibiotik sesuai program
5.      PK Perdarahan (Lynda Juall Carpenito, 2001)
a.       Tujuan : meminimalkan/ mencegah terjadinya perdarahan
b.      Kriteria Hasil
-          Urine jenih
-          TTV dalam batas normal
-          Hb dalam batas normal
-          Tidak menunjukkan tanda-tanda perdarahan
c.       Intervensi :
1)      Kaji TTV
2)      Kaji dan monitor perdarahan
3)      Kolaborasi dengan dokter untuk irigasi NaCl dan pemberian terapi anti perdarahan
4)      Kolaborasi dengan dokter untuk permeriksaan Hb

DAFTAR PUSTAKA


Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geisster, AC, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih Bahasa : I Mode Kariasa dan Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC.

Diagnosis Keperawatan “NANDA”. Definisi dan Klasifikasi 2001-2002, Diterjemahkan oleh Mahasiswa PSIK-B FK UGM Angkatan 2002.

Carpenite Lynda Juall, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Monica Ester, Jakarta : EGC, 2001.

Iowa Outcome Project, Nursing Intervention Classification (NIC), Second Edition, Mosby, St Louis New York, 1996.

Iowa Outcome Project, Nursing Outcomes Classification (NOC), Second Edition, Mosby, St Louis New York, 1996.

Mansjoer, Arief, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC, 2000.
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta : EGC, 2002.
Sjamsuhidayat, R, dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta : EGC, 2002.