Selasa, 30 Desember 2008

MODEL KONSEPTUAL MYRA ESTRINE LEVINE

TEORI LEVINE


TEORI LEVINE & EMPAT KONSEP POKOK
Levine menekankan kebutuhan dalam memandang individu sebagai makhluk holistik yang termasuk individu sebagai makhluk yang kompleks. Dia mendefinisikan perawatan berdasarkan pada ketergantungan/ hubungan manusia dengan orang lain. Besarnya ketergantungan ini membuatnya merencanakan empat prinsip konservasi yakni kebutuhan energi dan pemakaiannya, integritas sosial, integritas struktur, integritas personal. Manusia tergantung pada yang lain pada semua aspek kehidupan, makanan, keamanan, rekreasi dan penghargaan. Levine mengharapkan seorang perawat :
  1. mengetahui kekomplekan interaksi
  2. mendukung dalam mempertahankan atau memulihkan hubungan saat klien mengalami gangguan kesehatan.
Keseimbangan yang normal berubah saat sakit dan klien akan berusaha mengatasi stress nya dan mungkin menunjukkan perubahan pola tingkah laku dan fungsi. Seorang perawat harus mempersepsikan pertanggung jawaban dalam membantu klien untuk mengadaptasi perubahan kearah cara pemeliharaan kesehatan yang positif. Pengaruh masyarakat atau lingkungn dalam teori Levine sangat penting. Inti dari definisi teori Levine bahwa perawatan adalah interaksi antara manusia, ia menggunakan konsep adaptasi dan peningkatan respon tubuh melalui pendekatan sistem.


TEORI LEVINE DAN PROSES KEPERAWATAN
Teori perawatan Levine pada pokoknya sama dengan elemen-elemen proses perawatan. Menurutnya harus selalu mengobservasi klien, memberikan intervensi yang tepat sesuai dengan perencanaan dan mengevaluasi. Semua tindakan ini bertujuan untuk membantu klien. Menurutnya dalam perawatan klien, perawat dan klien harus bekerja sama.
Dalam teori Levine, klien dipandang dalam posisi ketergantungan, sehingga kemampuan klien terbatas untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data, perencanaan, implementasi atau semua fase dari posisi ketergantungan. Klien membutuhkan bantuan dari perawat untuk beradaptasi terhadap gangguan kesehatannya. Perawat bertanggung jawab dalam menentukan besarnya kemampuan partisipasi klien dalam perawatan.Dalam fase pengkajian, klien dikaji melalui dua metoda yaitu interview dan observasi. dalam pengkajian berfokus pada klien, keluarga, anggota lainnya, atau hanya mempertimbangkan penjelasan dari mereka dalam membantu memecahkan permasalahan kesehatanklien. Hal ini juga mempengaruhi kesiapan klien dalam menghadapi lingkungan eksternal. Menurut Levine, jika anggota keluarga membutuhkan suatu perjanjian maka keluarga harus menjadi sasaran pengkajian. Dalam pengkajian menyeluruh, perawat menggunakan empat prinsip teori Levine yang disebut pedoman pengkajian. Perawat menitik beratkan pada keseimbangan energi klien dan pemeliharaan integritas klien. Kemudian perawat mengumpulkan sumber energi klien yaitu nutrisi, istirahat (tidur), waktu luang, pola koping, hubungan dengan anggota keluarga/orang lain, pengobatan, lingkungan dan penggunaan energi yakni fungsi dari beberapa sistem tubuh, emosi dan stress sosial dan pola kerja. Juga data tentang integritas struktur klien yaitu pertahanan tubuh, struktur fisik, integritas personal (sistem diri klien) yakni keunikan, nilai, kepercayaan dan integritas sosial yakni : proses keputusan dari klien dan hubungan klien dengan orang lain serta kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain atau masyrakat.
Setelah mengumpulkan semua data, perawat menganalisa data secara menyeluruh. Analisa ini mencerminkan keseimbangan kekuatan dan kelemahan dari diri klien pada empat area pengkajian (prinsip konservasi). Analisa ini juga membutuhkan pengumpulan data lebih banyak. Dalam menganalisa, konsep dan teori dari disiplin lain juga sama penekanannya.Dalam fase perencanaan dimasukkan tujuan akhir. Proses perawatan menekankan kualitas dari aktivitas klien dan perawat. Bagaimanpun, Levine tidak secara khusus mengidentifikasikan atau menekankan kebutuhan sebagai tujuan akhir. Kesimpulannya mutu adalah sangat penting diaplikasikan dalam teori ini untuk mencapai tujuan klinik. Dasar dari pendapat ini adalah : Posisi ketergantungan dari klien sebagai akibat dari sakit atau bantuan kesehatan yang membutuhkan bantuan perawatan.Tanggung jawab perawat untuk memonitor kondisi klien dalam mengatur keseimbangan antara intervensi keperawatan dan partisipasi klien dalam perawatan. Perawat sebagai individu harus melibatkan klien dalam aktivitas pengkajian dasar dan kemampuan partisipasi klien dalam mencapai tujuan akhir. Tujuan harus mencerminkan usaha membantu klien untuk beradaptasi dan mencapai kondisii sehat. Dalam fase perencanaan, perawat harus menetapkan tujuan :
  1. Menetapkan strategi yang dipakai untuk perencanaan.
  2. Menentukan tingkat perencanaan yang harus dikembangkan untuk mencapai tujuan.
Levine menyatakan perawat harus mempunyai dasar pengetahui praktis, kemudian tahapan dari perencanaan perawatan harus berdasar dari prinsip, hukum, konsep, teori, dan pengetahuan tentang diri manusia. Dalam mengembangkan perencanaan perawat harus meningkatkan kemampuan partisipasi klien dalam perencanaan perawatan dan mengidentifikasi tingkat partisipasi klien. Selama fase perencanaan perawat boleh konsul dengan team kesehatan lain. Pelaksanaan dari perawatan disebut implementasi. Perawat harus mengawasi respon klien. Data dikumpulkan kemudian dipakai dalam fase evaluasi. Selama fase evaluasi perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan kepada klien. Teori Levine menyatakan bahwa :
  1. Perawat harus memiliki skill untuk melaksanakan intervensi keperawatan.
  2. Intervensi perawat mendorong adaptasi klien.
  3. Dalam fase evaluasi perawat memusatkan respon dari klien untuk melakukan tindakan perawatan.
  4. Perawat mengumpulkan data tentang respon klien untuk menetukan intervensi perawatan yaitu tentang pengobatan atau support.
Bagaimana teori Levine berfokus pada orang per orang, berorientasi pada waktu sekarang maupun masa yang akan datang, dan klien dengan gangguan kesehatan membutuhkan intervensi perawatan.

REFERENSI :
Dwidiyanti, Mediana. 1998. Aplikasi Konseptual Keperawatan. AKPER DEPKES : Semarang.

MODEL KONSEPTUAL MYRA ESTRINE LEVINE

TEORI LEVINE


TEORI LEVINE & EMPAT KONSEP POKOK
Levine menekankan kebutuhan dalam memandang individu sebagai makhluk holistik yang termasuk individu sebagai makhluk yang kompleks. Dia mendefinisikan perawatan berdasarkan pada ketergantungan/ hubungan manusia dengan orang lain. Besarnya ketergantungan ini membuatnya merencanakan empat prinsip konservasi yakni kebutuhan energi dan pemakaiannya, integritas sosial, integritas struktur, integritas personal. Manusia tergantung pada yang lain pada semua aspek kehidupan, makanan, keamanan, rekreasi dan penghargaan. Levine mengharapkan seorang perawat :
  1. mengetahui kekomplekan interaksi
  2. mendukung dalam mempertahankan atau memulihkan hubungan saat klien mengalami gangguan kesehatan.
Keseimbangan yang normal berubah saat sakit dan klien akan berusaha mengatasi stress nya dan mungkin menunjukkan perubahan pola tingkah laku dan fungsi. Seorang perawat harus mempersepsikan pertanggung jawaban dalam membantu klien untuk mengadaptasi perubahan kearah cara pemeliharaan kesehatan yang positif. Pengaruh masyarakat atau lingkungn dalam teori Levine sangat penting. Inti dari definisi teori Levine bahwa perawatan adalah interaksi antara manusia, ia menggunakan konsep adaptasi dan peningkatan respon tubuh melalui pendekatan sistem.


TEORI LEVINE DAN PROSES KEPERAWATAN
Teori perawatan Levine pada pokoknya sama dengan elemen-elemen proses perawatan. Menurutnya harus selalu mengobservasi klien, memberikan intervensi yang tepat sesuai dengan perencanaan dan mengevaluasi. Semua tindakan ini bertujuan untuk membantu klien. Menurutnya dalam perawatan klien, perawat dan klien harus bekerja sama.
Dalam teori Levine, klien dipandang dalam posisi ketergantungan, sehingga kemampuan klien terbatas untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data, perencanaan, implementasi atau semua fase dari posisi ketergantungan. Klien membutuhkan bantuan dari perawat untuk beradaptasi terhadap gangguan kesehatannya. Perawat bertanggung jawab dalam menentukan besarnya kemampuan partisipasi klien dalam perawatan.Dalam fase pengkajian, klien dikaji melalui dua metoda yaitu interview dan observasi. dalam pengkajian berfokus pada klien, keluarga, anggota lainnya, atau hanya mempertimbangkan penjelasan dari mereka dalam membantu memecahkan permasalahan kesehatanklien. Hal ini juga mempengaruhi kesiapan klien dalam menghadapi lingkungan eksternal. Menurut Levine, jika anggota keluarga membutuhkan suatu perjanjian maka keluarga harus menjadi sasaran pengkajian. Dalam pengkajian menyeluruh, perawat menggunakan empat prinsip teori Levine yang disebut pedoman pengkajian. Perawat menitik beratkan pada keseimbangan energi klien dan pemeliharaan integritas klien. Kemudian perawat mengumpulkan sumber energi klien yaitu nutrisi, istirahat (tidur), waktu luang, pola koping, hubungan dengan anggota keluarga/orang lain, pengobatan, lingkungan dan penggunaan energi yakni fungsi dari beberapa sistem tubuh, emosi dan stress sosial dan pola kerja. Juga data tentang integritas struktur klien yaitu pertahanan tubuh, struktur fisik, integritas personal (sistem diri klien) yakni keunikan, nilai, kepercayaan dan integritas sosial yakni : proses keputusan dari klien dan hubungan klien dengan orang lain serta kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain atau masyrakat.
Setelah mengumpulkan semua data, perawat menganalisa data secara menyeluruh. Analisa ini mencerminkan keseimbangan kekuatan dan kelemahan dari diri klien pada empat area pengkajian (prinsip konservasi). Analisa ini juga membutuhkan pengumpulan data lebih banyak. Dalam menganalisa, konsep dan teori dari disiplin lain juga sama penekanannya.Dalam fase perencanaan dimasukkan tujuan akhir. Proses perawatan menekankan kualitas dari aktivitas klien dan perawat. Bagaimanpun, Levine tidak secara khusus mengidentifikasikan atau menekankan kebutuhan sebagai tujuan akhir. Kesimpulannya mutu adalah sangat penting diaplikasikan dalam teori ini untuk mencapai tujuan klinik. Dasar dari pendapat ini adalah : Posisi ketergantungan dari klien sebagai akibat dari sakit atau bantuan kesehatan yang membutuhkan bantuan perawatan.Tanggung jawab perawat untuk memonitor kondisi klien dalam mengatur keseimbangan antara intervensi keperawatan dan partisipasi klien dalam perawatan. Perawat sebagai individu harus melibatkan klien dalam aktivitas pengkajian dasar dan kemampuan partisipasi klien dalam mencapai tujuan akhir. Tujuan harus mencerminkan usaha membantu klien untuk beradaptasi dan mencapai kondisii sehat. Dalam fase perencanaan, perawat harus menetapkan tujuan :
  1. Menetapkan strategi yang dipakai untuk perencanaan.
  2. Menentukan tingkat perencanaan yang harus dikembangkan untuk mencapai tujuan.
Levine menyatakan perawat harus mempunyai dasar pengetahui praktis, kemudian tahapan dari perencanaan perawatan harus berdasar dari prinsip, hukum, konsep, teori, dan pengetahuan tentang diri manusia. Dalam mengembangkan perencanaan perawat harus meningkatkan kemampuan partisipasi klien dalam perencanaan perawatan dan mengidentifikasi tingkat partisipasi klien. Selama fase perencanaan perawat boleh konsul dengan team kesehatan lain. Pelaksanaan dari perawatan disebut implementasi. Perawat harus mengawasi respon klien. Data dikumpulkan kemudian dipakai dalam fase evaluasi. Selama fase evaluasi perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan kepada klien. Teori Levine menyatakan bahwa :
  1. Perawat harus memiliki skill untuk melaksanakan intervensi keperawatan.
  2. Intervensi perawat mendorong adaptasi klien.
  3. Dalam fase evaluasi perawat memusatkan respon dari klien untuk melakukan tindakan perawatan.
  4. Perawat mengumpulkan data tentang respon klien untuk menetukan intervensi perawatan yaitu tentang pengobatan atau support.
Bagaimana teori Levine berfokus pada orang per orang, berorientasi pada waktu sekarang maupun masa yang akan datang, dan klien dengan gangguan kesehatan membutuhkan intervensi perawatan.

REFERENSI :
Dwidiyanti, Mediana. 1998. Aplikasi Konseptual Keperawatan. AKPER DEPKES : Semarang.

Selasa, 16 Desember 2008

INSOMNIA

NURSING CARE IN INSOMNIA
PENGERTIAN
Tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina. Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang, umumnya 6-8 jam per hari. Agar tetap sehat, yang perlu diperhatikan adalah kualitas tidur (www.depkes.go.id).
Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur yang bisa bersifat sementara atau persisten (Kaplan & Sadock, 1997).
Insomnia adalah salah satu fenomena umum dalam gangguan pola tidur. Jangka panjang dapat menyebabkan menderita gejala somatic dan perkembangan penyakit. Ia bahkan dapat menimbulkan penyakit mental dengan dimensi (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Insomnia insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur, tetap tidur, atau merasa segar dengan tidur. Akut dan sementara selama periode stres, insomnia dapat menjadi kronis, konstan menyebabkan kelelahan, kegelisahan ekstrim sebagai pendekatan sensasi, dan gangguan kejiwaan (www.wrongdiagnosis.com).


PENYEBAB
1. karena kondisi medis : tiap kondisi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan,sindroma apnea tidur, restless leggs syndrome,faktor diet, parasomnia, efek zat langsung (drugs/alcohol), efek putus zat, penyakit endokrin/metabolik, penyakit infeksi, neoplastic, nyeri/ketidaknyamanan,lesi batang otak/hipotalamus, akibat penuaan.
2. sekunder karena kondisi psikiatri
kecemasan, ketegangan otot-otot, perubahan lingkungan, gangguan tidur irama sirkadian, depresi primer, stress pascatraumatik, skizofrenia (Kaplan & Sadock, 1997).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa gejala dimana seseorang dapat didiagnosis sedang menderita insomnia karena faktor psikologis, yaitu:

1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang paling banyak terjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial,pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atau parasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.
Dengan adanya gejela-gejala yang disebutkan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), maka insomnia karena faktor psikologis dapat mengganggu berbagai fungsi sosial. (www.e-psikologi.com).

SIKLUS INSOMNIA KRONIS
Jika seseorang mengalami insomnia sementara karena faktor psikologis (mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak selama kurang lebih satu malam dan kurang dari empat minggu) tetapi tidak dapat beradaptasi dengan penyebab insomnia (tidak mampu mengelola stres tersebut secara sehat) maka akan mengakibatkan seseorang mengalami insomnia jangka pendek (kesulitan tidur nyenyak selama empat minggu hingga enam bulan). Jika insomnia jangka pendek ini tetap tidak dapat diatasi oleh si penderita maka akan mengakibatkan insomnia kronis. Jika terjadi insomnia kronis maka akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya (www.e-psikologi.com).
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan. Dengan    bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan    menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun (perawat-jiwatiga.blogspot.com).

DAMPAK INSOMNIA
Insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:
1. Depresi
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi
3. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu
4. prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan
5. Mengalami kelelahan di siang hari
6. Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk
7. Meningkatkan risiko kematian
8. Menyebabkan kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan
9. Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia tidak dapat di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat (www.e-psikologi.com).

THERAPY
1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita dalam memandang dirinya, lingkungannya, masa depannya, dan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya sehingga si penderita merasa berdaya atau merasa bahwa dirinya masih berharga.

2. Sleep Restriction Therapy
Sleep restriction therapy digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.

3. Stimulus Control Therapy
Stimulus control therapy berguna untuk mempertahankan waktu bangun pagi si penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang si penderita untuk tidur pada siang hari meski hanya sesaat.

4. Relaxation Therapy
Relaxation Therapy berguna untuk membuat si penderita rileks pada saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan.

5. Cognitive Therapy
Cognitive Therapy berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang salah mengenai tidur.

6. Imagery Training
Imagery Training berguna untuk mengganti pikiran-pikiran si penderita yang tidak menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Banyak di antara para penderita insomnia karena factor psikologis yang menggunakan obat tidur untuk mengatasi insomnianya. Namun penggunaan yang terus menerus tentu menimbulkan efek samping yang negative, baik secara fisiologis (efek terhadap organ dan fungsi organ tubuh) serta efek psikologis. Logikanya, insomnia yang disebabkan factor psikologis, berarti factor psikologis itu lah yang harus di atasi, bukan symtomnya. Kalau kita hanya focus mengatasi simtom-nya dengan minum berbagai obat tidur, maka ketika mata terbuka, masalah akan datang kembali, bahkan akan dirasa lebih berat karena dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi pada akar masalah.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan terapi tergantung dari motivasi si penderita untuk sembuh sehingga si penderita harus sabar, tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalani sesi terapi. Selain itu, sebaiknya terapi yang dilakukan juga diiringi dengan pemberian terapi keluarga. Hal ini disebabkan, dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita dilibatkan untuk membantu kesembuhan si penderita. Dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita juga diberi tahu tentang seluk beluk kondisi si penderita dan diharapkan anggota keluarganya dapat berempati untuk membantu kesembuhan si penderita.

ASKEP
kaji efek samping pengobatan pada pola tidur klien.
pantau pola tidur klien dan catat hubungan faktor-faktor fisik (misalnya : apnea saat tidur, sumbatan jalan nafas, nyeri/ketidaknyamanan, dan sering berkemih).
jelaskan pada klien pentingnya tidur adekuat (selama kehamilan, sakit, stress psikososial).
ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari faktor penyebab (misal : gaya hidup, diet, aktivitas, dan faktor lingkungan).
ajarkan klien dan kelurga dalam teknik relaksasi (pijat/urut sebelum tidur, mandi air hangat, minum susu hangat).

Solusi mencegah insomnia
Insomnia karena faktor psikologis dapat dicegah dengan cara memanage stres secara positif dan jika ada mengalami masalah sebaiknya sharing pada seseorang yang dapat Anda percaya. Semoga dengan pembahasan tentang insomnia ini, dapat memberikan manfaat bagi Anda. Dengan informasi ini, diharap kita pun bisa memahami penderita insomnia dan dapat memberikan bantuan yang tepat. Perhatian dan empati terhadap penderita insomnia, bisa sedikit mengobati kegalauan emosi jiwanya. Semoga bermanfaat.

KEPUSTAKAAN
http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=483
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18836979?ordinalpos=2&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DefaultReportPanel.Pubmed_RVDocSum
http://www.wrongdiagnosis.com/symptoms/insomnia/causes.htm
Kaplan, Harold I. & Sadock, Benjamin J. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 edisi 7. Jakarta : Binarupa Aksara.
Wilkinson, Judit M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

INSOMNIA

NURSING CARE IN INSOMNIA
PENGERTIAN
Tidur adalah bagian dari ritme biologis tubuh untuk mengembalikan stamina. Kebutuhan tidur bervariasi pada masing-masing orang, umumnya 6-8 jam per hari. Agar tetap sehat, yang perlu diperhatikan adalah kualitas tidur (www.depkes.go.id).
Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur yang bisa bersifat sementara atau persisten (Kaplan & Sadock, 1997).
Insomnia adalah salah satu fenomena umum dalam gangguan pola tidur. Jangka panjang dapat menyebabkan menderita gejala somatic dan perkembangan penyakit. Ia bahkan dapat menimbulkan penyakit mental dengan dimensi (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Insomnia insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur, tetap tidur, atau merasa segar dengan tidur. Akut dan sementara selama periode stres, insomnia dapat menjadi kronis, konstan menyebabkan kelelahan, kegelisahan ekstrim sebagai pendekatan sensasi, dan gangguan kejiwaan (www.wrongdiagnosis.com).


PENYEBAB
1. karena kondisi medis : tiap kondisi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan,sindroma apnea tidur, restless leggs syndrome,faktor diet, parasomnia, efek zat langsung (drugs/alcohol), efek putus zat, penyakit endokrin/metabolik, penyakit infeksi, neoplastic, nyeri/ketidaknyamanan,lesi batang otak/hipotalamus, akibat penuaan.
2. sekunder karena kondisi psikiatri
kecemasan, ketegangan otot-otot, perubahan lingkungan, gangguan tidur irama sirkadian, depresi primer, stress pascatraumatik, skizofrenia (Kaplan & Sadock, 1997).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa gejala dimana seseorang dapat didiagnosis sedang menderita insomnia karena faktor psikologis, yaitu:

1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang paling banyak terjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial,pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atau parasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.
Dengan adanya gejela-gejala yang disebutkan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), maka insomnia karena faktor psikologis dapat mengganggu berbagai fungsi sosial. (www.e-psikologi.com).

SIKLUS INSOMNIA KRONIS
Jika seseorang mengalami insomnia sementara karena faktor psikologis (mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak selama kurang lebih satu malam dan kurang dari empat minggu) tetapi tidak dapat beradaptasi dengan penyebab insomnia (tidak mampu mengelola stres tersebut secara sehat) maka akan mengakibatkan seseorang mengalami insomnia jangka pendek (kesulitan tidur nyenyak selama empat minggu hingga enam bulan). Jika insomnia jangka pendek ini tetap tidak dapat diatasi oleh si penderita maka akan mengakibatkan insomnia kronis. Jika terjadi insomnia kronis maka akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya (www.e-psikologi.com).
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan. Dengan    bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan    menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun (perawat-jiwatiga.blogspot.com).

DAMPAK INSOMNIA
Insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:
1. Depresi
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi
3. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu
4. prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan
5. Mengalami kelelahan di siang hari
6. Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk
7. Meningkatkan risiko kematian
8. Menyebabkan kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan
9. Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia tidak dapat di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat (www.e-psikologi.com).

THERAPY
1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita dalam memandang dirinya, lingkungannya, masa depannya, dan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya sehingga si penderita merasa berdaya atau merasa bahwa dirinya masih berharga.

2. Sleep Restriction Therapy
Sleep restriction therapy digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.

3. Stimulus Control Therapy
Stimulus control therapy berguna untuk mempertahankan waktu bangun pagi si penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang si penderita untuk tidur pada siang hari meski hanya sesaat.

4. Relaxation Therapy
Relaxation Therapy berguna untuk membuat si penderita rileks pada saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan.

5. Cognitive Therapy
Cognitive Therapy berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang salah mengenai tidur.

6. Imagery Training
Imagery Training berguna untuk mengganti pikiran-pikiran si penderita yang tidak menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Banyak di antara para penderita insomnia karena factor psikologis yang menggunakan obat tidur untuk mengatasi insomnianya. Namun penggunaan yang terus menerus tentu menimbulkan efek samping yang negative, baik secara fisiologis (efek terhadap organ dan fungsi organ tubuh) serta efek psikologis. Logikanya, insomnia yang disebabkan factor psikologis, berarti factor psikologis itu lah yang harus di atasi, bukan symtomnya. Kalau kita hanya focus mengatasi simtom-nya dengan minum berbagai obat tidur, maka ketika mata terbuka, masalah akan datang kembali, bahkan akan dirasa lebih berat karena dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi pada akar masalah.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan terapi tergantung dari motivasi si penderita untuk sembuh sehingga si penderita harus sabar, tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalani sesi terapi. Selain itu, sebaiknya terapi yang dilakukan juga diiringi dengan pemberian terapi keluarga. Hal ini disebabkan, dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita dilibatkan untuk membantu kesembuhan si penderita. Dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita juga diberi tahu tentang seluk beluk kondisi si penderita dan diharapkan anggota keluarganya dapat berempati untuk membantu kesembuhan si penderita.

ASKEP
kaji efek samping pengobatan pada pola tidur klien.
pantau pola tidur klien dan catat hubungan faktor-faktor fisik (misalnya : apnea saat tidur, sumbatan jalan nafas, nyeri/ketidaknyamanan, dan sering berkemih).
jelaskan pada klien pentingnya tidur adekuat (selama kehamilan, sakit, stress psikososial).
ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari faktor penyebab (misal : gaya hidup, diet, aktivitas, dan faktor lingkungan).
ajarkan klien dan kelurga dalam teknik relaksasi (pijat/urut sebelum tidur, mandi air hangat, minum susu hangat).

Solusi mencegah insomnia
Insomnia karena faktor psikologis dapat dicegah dengan cara memanage stres secara positif dan jika ada mengalami masalah sebaiknya sharing pada seseorang yang dapat Anda percaya. Semoga dengan pembahasan tentang insomnia ini, dapat memberikan manfaat bagi Anda. Dengan informasi ini, diharap kita pun bisa memahami penderita insomnia dan dapat memberikan bantuan yang tepat. Perhatian dan empati terhadap penderita insomnia, bisa sedikit mengobati kegalauan emosi jiwanya. Semoga bermanfaat.

KEPUSTAKAAN
http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=483
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18836979?ordinalpos=2&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DefaultReportPanel.Pubmed_RVDocSum
http://www.wrongdiagnosis.com/symptoms/insomnia/causes.htm
Kaplan, Harold I. & Sadock, Benjamin J. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 edisi 7. Jakarta : Binarupa Aksara.
Wilkinson, Judit M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

ULCUS DEKUBITUS

ULCUS DEKUBITUS
Definisi

Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah.

Ulkus dekubitus adalah ulkus yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur.
Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi.

Etiologi
a) Tekanan
b) Kelembaban
c) Gesekan


Patofisiologi
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan angggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.

Manifestasi Klinis dan Komplikasi
a) Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari.
b) Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit.
c) Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih.
d) Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.

Pemeriksaan Diagnostik
a) Kultur : pertumbuhan mikroorganisme tiruan atau sel – sel jaringan.
b) Albumin serum : protein utama dalam plasma dan cairan serosa lain.

Penatalaksanaan medis
a) Merubah posisi pasien yang sedang tirah baring.
b) Menghilangkan tekanan pada kulit yang memerah dan penempatan pembalut yang bersih dan tipis apabila telah berbentuk ulkus dekubitus.
c) Sistemik : antibiotic spectrum luas, seperti :
Amoxilin 4x500 mg selama 15 – 30 hari.
Siklosperm 1 – 2 gram selama 3 – 10 hari.
Topical : salep antibiotic seperti kloramphenikol 2 gram.

Manajemen Keperawatan
1.Pengkajian
a)Aktivitas/ istirahat
Tanda : penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak.pada area yang sakit gangguannya misalnya otot perubahan tunas.
b) Sirkulasi
Tanda : hipoksia, penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin, pembentukan edema jaringan.
c) Eleminasi
Tanda : keluaran urin menurun adalah tidak adanya pada fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan , bila terjadi, mengidentifiasi kerusakan otot.
d)Makanan/cairan
Tanda : edema jaringan umum, anoreksia, mual dan muntah.
e) Neurosensori
Gejala : area kebas/kesemutan
f) Pernapasan
Gejala :menurunnya fungsi medulla spinalis, edema medulla, kerusakan neurology, paralysis abdominal dan otot pernapasan.
g) Integritas ego
Gejala : masalah keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, mmenarik diri, marah.
h) Keamanan
Tanda : adanya fraktur akibat dilokasi (jatuh, kecelakaan, kontraksi otot tetanik, sampai dengan syok listrik).

2.Diagnosa Keperawatan
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2)Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
3)Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
4)Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5)Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.

3.Intervensi dan Implementasi
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
- Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus.
R : prinsip pencegahan luka dekubitus, meliputi mengurangi atau merotasi tekanan dari jaringan lunak.
- Atur posis pasien senyaman mungkin.
R : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus.
- Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembaban lingkungan diatas dasar luka.
R : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan.

2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
- Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi.
R : gerakan teratur menghilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang.
- Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, seperti mandi.
R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan control pasien dalam situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan.
- Berikan perhatian khusus pada kulit.
R : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan karena konsentrasi berat badan.

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
- Beri makan dalm jumlah kecil, sering dan dalam keadaan hangat.
R : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukkan, menambah napsu makan.
- Bantu kebersihan oral sebelum makan.
R : mulut/peralatan bersih meningkatkan napsu makan yang baik.
- Pertahankan kalori yang ketat.
R : pedoman tepat untuk pemasukkan kalori yang tepat.

4) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
- Gunakan tehnik yang tepat selama mengganti balutan.
R : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen kedalam luka.
 Ukur tanda – tanda vital .
R : peningkatan suhu tubuh, takikardia menunjukkan adanya sepsis.
- Gunakan sarung tangan steril setiap mengganti balutan.
R : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini dapat mencegah infeksi.
- Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9 %.
R : Dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme.
- Berikan obat antibiotic sesuai indikasi.
R : antibiotic pilihanpada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram negative dan gram positif.

5) Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.
- Anjurkan tindakan untuk mencegah luka dekubitus.
R : pencegahan luka dekubitus lebih mudah dari pengobatan.
- Anjurkan tindakan untuk mengobati luka dekubitus.
R : instruksi spesifik ini membantu pasien dan keluarga belajar untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah infeksi.

4. Evaluasi
1) Pasien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus; menunjukkan kemajuan penyembuhan.
2) Pasien mempunyai kulit tanpa neritema dan tidak pucat.
3) Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot.
4) Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine drainage.
5) Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan pasien dirumah.

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Linda Juall. 1999. Rencana Diagnosa dan Dokumentasi Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif Ed.2. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Nurachman, Elly. 2001. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto.

ULCUS DEKUBITUS

ULCUS DEKUBITUS
Definisi

Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah.

Ulkus dekubitus adalah ulkus yang ditimbulkan karena tekanan yang kuat oleh berat badan pada tempat tidur.
Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi.

Etiologi
a) Tekanan
b) Kelembaban
c) Gesekan


Patofisiologi
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan angggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.

Manifestasi Klinis dan Komplikasi
a) Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari.
b) Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit.
c) Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih.
d) Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.

Pemeriksaan Diagnostik
a) Kultur : pertumbuhan mikroorganisme tiruan atau sel – sel jaringan.
b) Albumin serum : protein utama dalam plasma dan cairan serosa lain.

Penatalaksanaan medis
a) Merubah posisi pasien yang sedang tirah baring.
b) Menghilangkan tekanan pada kulit yang memerah dan penempatan pembalut yang bersih dan tipis apabila telah berbentuk ulkus dekubitus.
c) Sistemik : antibiotic spectrum luas, seperti :
Amoxilin 4x500 mg selama 15 – 30 hari.
Siklosperm 1 – 2 gram selama 3 – 10 hari.
Topical : salep antibiotic seperti kloramphenikol 2 gram.

Manajemen Keperawatan
1.Pengkajian
a)Aktivitas/ istirahat
Tanda : penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak.pada area yang sakit gangguannya misalnya otot perubahan tunas.
b) Sirkulasi
Tanda : hipoksia, penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin, pembentukan edema jaringan.
c) Eleminasi
Tanda : keluaran urin menurun adalah tidak adanya pada fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan , bila terjadi, mengidentifiasi kerusakan otot.
d)Makanan/cairan
Tanda : edema jaringan umum, anoreksia, mual dan muntah.
e) Neurosensori
Gejala : area kebas/kesemutan
f) Pernapasan
Gejala :menurunnya fungsi medulla spinalis, edema medulla, kerusakan neurology, paralysis abdominal dan otot pernapasan.
g) Integritas ego
Gejala : masalah keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, mmenarik diri, marah.
h) Keamanan
Tanda : adanya fraktur akibat dilokasi (jatuh, kecelakaan, kontraksi otot tetanik, sampai dengan syok listrik).

2.Diagnosa Keperawatan
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2)Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
3)Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
4)Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5)Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.

3.Intervensi dan Implementasi
1)Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
- Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus.
R : prinsip pencegahan luka dekubitus, meliputi mengurangi atau merotasi tekanan dari jaringan lunak.
- Atur posis pasien senyaman mungkin.
R : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus.
- Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembaban lingkungan diatas dasar luka.
R : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan.

2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, status yang dikondisikan, kehilangan control motorik akibat perubahan status mental.
- Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi.
R : gerakan teratur menghilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang.
- Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, seperti mandi.
R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan control pasien dalam situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan.
- Berikan perhatian khusus pada kulit.
R : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan karena konsentrasi berat badan.

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral.
- Beri makan dalm jumlah kecil, sering dan dalam keadaan hangat.
R : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukkan, menambah napsu makan.
- Bantu kebersihan oral sebelum makan.
R : mulut/peralatan bersih meningkatkan napsu makan yang baik.
- Pertahankan kalori yang ketat.
R : pedoman tepat untuk pemasukkan kalori yang tepat.

4) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
- Gunakan tehnik yang tepat selama mengganti balutan.
R : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen kedalam luka.
 Ukur tanda – tanda vital .
R : peningkatan suhu tubuh, takikardia menunjukkan adanya sepsis.
- Gunakan sarung tangan steril setiap mengganti balutan.
R : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini dapat mencegah infeksi.
- Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9 %.
R : Dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme.
- Berikan obat antibiotic sesuai indikasi.
R : antibiotic pilihanpada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram negative dan gram positif.

5) Risiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, tindakan dan perawatan dirumah.
- Anjurkan tindakan untuk mencegah luka dekubitus.
R : pencegahan luka dekubitus lebih mudah dari pengobatan.
- Anjurkan tindakan untuk mengobati luka dekubitus.
R : instruksi spesifik ini membantu pasien dan keluarga belajar untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah infeksi.

4. Evaluasi
1) Pasien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus; menunjukkan kemajuan penyembuhan.
2) Pasien mempunyai kulit tanpa neritema dan tidak pucat.
3) Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot.
4) Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine drainage.
5) Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan pasien dirumah.

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, Linda Juall. 1999. Rencana Diagnosa dan Dokumentasi Keperawatan : Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif Ed.2. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Nurachman, Elly. 2001. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto.

KOLESISTITIS

CHOLECISTITYS

A. Definisi
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang menrupakan inflamasi akut
dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas
badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker, 2001).
Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya
merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara
tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa (www.medicastore.com).
Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,
yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat
(www.medicastore.com).
Cholesistektomy adalah bedah pengangkatan kandung empedu (biasanya untuk
relief batu empedu sakit) (Dictionary: WordNet).

B. Etiologi
 Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu.
Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan.
Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung
timbul setelah terjadinya: - cedera,
- pembedahan
- luka bakar
- sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh)
- penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat
infus dalam jangka waktu yang lama).
Sebelum secsara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian
atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu.
Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut,
yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan
kandung empedu.Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat
pada usia diatas 40 tahun.
Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat
kolesistitis akut sebelumnya (www.medicastore.com).


C. Patofisiologi
Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan
memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan
elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel
hati.
Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada saat
katup Oddi tertutup. Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan dengan
mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi
zat-zat padat. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dapat menyebabkan infeksi kandung empedu (www.mamashealth.com).

D. Gejala
Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejala bisa berupa:
- Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan
bagian atas.
- Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke
bahu kanan.
- Biasanya terdapat mual dan muntah.
- Nyeri tekan perut
- Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku.
- Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.
- Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.
- Gangguan pencernaan menahun
- Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar)
- Sendawa.

E. KOMPLIKASI
 Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan
usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung
empedu.
 Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke
dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu
empedu atau oleh peradangan.
 Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin
telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan
batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

F. Pemeriksaan penunjang
- CT scan perut
- Kolesistogram oral
- USG perut.
- blood tests (looking for elevated white blood cells)

G. Penatalaksanaan medis
 - Pengobatan yang biasa dilakukan adalah pembedahan.
- Kolesistektomi bisa dilakukan melalui pembedahan perut maupun melalui
laparoskopi.
- Penderita yang memiliki resiko pembedahan tinggi karena keadaan medis lainnya,
dianjurkan untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan.
- Bisa diberikan antasid dan obat-obat antikolinergik.


MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien Post operatif (Doenges, 1999) adalah meliputi :
1). Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular
perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan
trombus).
2). Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress
multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;
stimulasi simpatis.
3). Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/
ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa
yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi
4). Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
5). Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;
Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan
penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat
keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat
penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat
mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
6). Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic,
dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau
tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal,
yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga
potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

B. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post Operatif meliputi :
1. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan
perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.
2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan
obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang terbatas misalnya
stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.
3. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan
pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak
normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.
4. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas
otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang (Doenges,1999).

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi ,1995).
Intervensi keperawatan pada pasien post Operatif (Doenges, 1999) meliputi :
DP 1 :
Tujuan : menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau
tanda-tanda hipoksia lainnya.
Kriteria hasil : tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan.
INTERVENSI
 - Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang,
aliran udara faringeal oral.
R : mencegah obstruksi jalan napas.
 - Auskultasi suara napas. Dengarkan ada/tidaknya suara napas.
R : kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau
lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun pengisapan.
- Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot bantu
pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung,
warna kulit, dan aliran udara.
R : dilakukan untuk memastikan efektivitas pernapasan sehingga upaya
memperbaikinya dapat segerra dilakukan.
 - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan
dan jenis pembedahan.
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
 - Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan
pada periode pascaoperasi.
R : ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus, mengeluarkan sekresi,
meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anastesi ; batuk membantu
mengeluarkan sekresi dari sistem pernapasan.
 - Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan.
R : obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam
tenggorok atau trakhea.
- Kolaborasi, pemberian oksigen sesuai kebutuhan.
R : dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang
akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anastesi dan mendorong
pengeluaran gas terssebut melalui zat-zat inhalasi.

DP 2:
Tujuan : meningkatkan tingkat kesadaran.
Kriteria hasil : pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber
bantuan sesuai kebutuhan.
INTERVENSI
 - Orientasikan kembali pasien secara terus menerus setelah keluar dari pengaruh
anastesi ; nyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan.
R : karena pasien telah meningkat kesadarannya, maka dukungan dan jaminan akan
membantu menghilangkan ansietas.
 - Bicara pada pasien dengan suara yang jelaas dan normal tanpa membentak, sadar
penuh akan apa yang diucapkan.
R : tidak dapat ditentukan kapan pasien akan sadar penuh, namun sensori
pendengaran merupakan kemampuan yang pertama kali akan pulih.
 - Evaluasi sensasi/pergerakkan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai.
R : pengembalian fungsi setelah dilakukan blok saraf spinal atau lokal yang
bergantung pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dan lamanya prosedur
dilakukan.
- Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengikatan jika diperlukan.
R : berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah terjadinya
cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama
masa disorientasi.
- Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter, bila dipasang dan pastikan
kepatenannya.
R : pada pasien yang mengalami disorientasi, mungkin akan terjadi bendungan
pada aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk.
 - Pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman.
R : stimulus eksternal mungkin menyebabkan abrasi psikis ketika terjadi
disosiasi obat-obatan anastesi yang telah diberikan.


DP 3 :
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat.
Kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil,
kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa
lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
INTERVENSI
- Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
R : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran
cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi
intervensi.
 - Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
R : mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelaha prosedur pada
sistem genitourinarius dan atau struktur yang berdekatan mengindikasikan
malfungsi ataupun obstruksi sistem urinarius.
- Pantau tanda-tanda vital.
R : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan
kekurangan cairan.
 - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan
dan jenis pembedahan.
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
 - Periksa pembalut, alat drain pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan.
R : perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi.
 - Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan
sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
 - Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
R : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu
penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi,
misalnya ketidak seimbangan.

DP 4:
Tujuan : pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.
Kriteria hasil : pasien tampak rileks, dapat beristirahat/tidur dan melakukan
pergerakkan yang berarti sesuai toleransi.
INTERVENSI
 - Evaluasi rasa sakit seccara reguler, catat karakteristik, lokasi dan
intensiitas (0-10).
R : sediakan informasi mengenai kebutuhan/efektivitas intervensi.
 - Catat munculnya rasa cemas/takut dan hubungkan dengan lingkungan dan persiapan
untuk prosedur.
R : perhatikan hal-hal yang tidak diketahui dan/atau persiapan inadekuat
misalnya apendikstomi darurat) dapat memperburuk persepsi pasien akan rasa
sakit.
 - Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardia, hipertensi dan peningkatan
pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit.
R : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.
 - Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.
R : pahami penyebab ketidaknyamanan, sediakan jaminan emosional.
 - Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi – Fowler ; miring.
R : mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi –
Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot pungguung
artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal.
 - Observasi efek analgetik.
R : respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan
efek-efek sinergistik dengan zat-zat anastesi.
 - Kolaborasi, pemberian analgetik IV sesuai kebutuhan.
R : analgetik IV akan dengan segera mencapai pusat rasa saki, menimbulkan
penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.

B. EVALUASI
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan
atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien post Operatif meliputi : 5
1. Menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-
tanda hipoksia lainnya.
2. Meningkatkan tingkat kesadaran.
3. Keseimbangan cairan tubuh adekuat.
4. Pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.

DAFTAR REFERENSI :
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC.
http://arifs45.multiply.com/journal/item/8
http://kamus.landak.com/cari/cholecystectomy
http://www.mamashealth.com/stomach/cholecy.asp
http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=607
http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=608
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, Edisi I. Jakarta : EGC.
Syaifudin, H, B.Ac, Drs. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Edisi 2.
Jakarta: EGC.

KOLESISTITIS

CHOLECISTITYS

A. Definisi
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang menrupakan inflamasi akut
dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas
badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker, 2001).
Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya
merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara
tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa (www.medicastore.com).
Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,
yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat
(www.medicastore.com).
Cholesistektomy adalah bedah pengangkatan kandung empedu (biasanya untuk
relief batu empedu sakit) (Dictionary: WordNet).

B. Etiologi
 Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu.
Kadang suatu infeksi bakteri menyebabkan terjadinya peradangan.
Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung
timbul setelah terjadinya: - cedera,
- pembedahan
- luka bakar
- sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh)
- penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat
infus dalam jangka waktu yang lama).
Sebelum secsara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian
atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu.
Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut,
yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan
kandung empedu.Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat
pada usia diatas 40 tahun.
Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat
kolesistitis akut sebelumnya (www.medicastore.com).


C. Patofisiologi
Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan
memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan
elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel
hati.
Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada saat
katup Oddi tertutup. Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan dengan
mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi
zat-zat padat. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut.
Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dapat menyebabkan infeksi kandung empedu (www.mamashealth.com).

D. Gejala
Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejala bisa berupa:
- Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan
bagian atas.
- Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke
bahu kanan.
- Biasanya terdapat mual dan muntah.
- Nyeri tekan perut
- Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku.
- Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.
- Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.
- Gangguan pencernaan menahun
- Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar)
- Sendawa.

E. KOMPLIKASI
 Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan
usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung
empedu.
 Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke
dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu
empedu atau oleh peradangan.
 Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin
telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan
batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

F. Pemeriksaan penunjang
- CT scan perut
- Kolesistogram oral
- USG perut.
- blood tests (looking for elevated white blood cells)

G. Penatalaksanaan medis
 - Pengobatan yang biasa dilakukan adalah pembedahan.
- Kolesistektomi bisa dilakukan melalui pembedahan perut maupun melalui
laparoskopi.
- Penderita yang memiliki resiko pembedahan tinggi karena keadaan medis lainnya,
dianjurkan untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan.
- Bisa diberikan antasid dan obat-obat antikolinergik.


MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien Post operatif (Doenges, 1999) adalah meliputi :
1). Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular
perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan
trombus).
2). Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress
multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;
stimulasi simpatis.
3). Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/
ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa
yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi
4). Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
5). Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;
Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan
penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat
keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat
penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat
mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
6). Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic,
dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau
tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal,
yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga
potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

B. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post Operatif meliputi :
1. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular, ketidakseimbangan
perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru, obstruksi trakeobronkial.
2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya penggunaan
obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang terbatas misalnya
stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.
3. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pembatasan
pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak
normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.
4. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integrittas
otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang (Doenges,1999).

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994).
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi ,1995).
Intervensi keperawatan pada pasien post Operatif (Doenges, 1999) meliputi :
DP 1 :
Tujuan : menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau
tanda-tanda hipoksia lainnya.
Kriteria hasil : tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan.
INTERVENSI
 - Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang,
aliran udara faringeal oral.
R : mencegah obstruksi jalan napas.
 - Auskultasi suara napas. Dengarkan ada/tidaknya suara napas.
R : kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau
lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi ataupun pengisapan.
- Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot bantu
pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung,
warna kulit, dan aliran udara.
R : dilakukan untuk memastikan efektivitas pernapasan sehingga upaya
memperbaikinya dapat segerra dilakukan.
 - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan
dan jenis pembedahan.
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
 - Lakukan latihan gerak sesegera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan
pada periode pascaoperasi.
R : ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus, mengeluarkan sekresi,
meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anastesi ; batuk membantu
mengeluarkan sekresi dari sistem pernapasan.
 - Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan.
R : obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam
tenggorok atau trakhea.
- Kolaborasi, pemberian oksigen sesuai kebutuhan.
R : dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang
akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anastesi dan mendorong
pengeluaran gas terssebut melalui zat-zat inhalasi.

DP 2:
Tujuan : meningkatkan tingkat kesadaran.
Kriteria hasil : pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan mencari sumber
bantuan sesuai kebutuhan.
INTERVENSI
 - Orientasikan kembali pasien secara terus menerus setelah keluar dari pengaruh
anastesi ; nyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan.
R : karena pasien telah meningkat kesadarannya, maka dukungan dan jaminan akan
membantu menghilangkan ansietas.
 - Bicara pada pasien dengan suara yang jelaas dan normal tanpa membentak, sadar
penuh akan apa yang diucapkan.
R : tidak dapat ditentukan kapan pasien akan sadar penuh, namun sensori
pendengaran merupakan kemampuan yang pertama kali akan pulih.
 - Evaluasi sensasi/pergerakkan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai.
R : pengembalian fungsi setelah dilakukan blok saraf spinal atau lokal yang
bergantung pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dan lamanya prosedur
dilakukan.
- Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengikatan jika diperlukan.
R : berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah terjadinya
cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan perlawanan selama
masa disorientasi.
- Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter, bila dipasang dan pastikan
kepatenannya.
R : pada pasien yang mengalami disorientasi, mungkin akan terjadi bendungan
pada aliran infus dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas, atau tertekuk.
 - Pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman.
R : stimulus eksternal mungkin menyebabkan abrasi psikis ketika terjadi
disosiasi obat-obatan anastesi yang telah diberikan.


DP 3 :
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat.
Kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil,
kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa
lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
INTERVENSI
- Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
R : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran
cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi
intervensi.
 - Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
R : mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelaha prosedur pada
sistem genitourinarius dan atau struktur yang berdekatan mengindikasikan
malfungsi ataupun obstruksi sistem urinarius.
- Pantau tanda-tanda vital.
R : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan
kekurangan cairan.
 - Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan
dan jenis pembedahan.
R : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aaspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
 - Periksa pembalut, alat drain pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan.
R : perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi.
 - Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan
sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
 - Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
R : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu
penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi,
misalnya ketidak seimbangan.

DP 4:
Tujuan : pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.
Kriteria hasil : pasien tampak rileks, dapat beristirahat/tidur dan melakukan
pergerakkan yang berarti sesuai toleransi.
INTERVENSI
 - Evaluasi rasa sakit seccara reguler, catat karakteristik, lokasi dan
intensiitas (0-10).
R : sediakan informasi mengenai kebutuhan/efektivitas intervensi.
 - Catat munculnya rasa cemas/takut dan hubungkan dengan lingkungan dan persiapan
untuk prosedur.
R : perhatikan hal-hal yang tidak diketahui dan/atau persiapan inadekuat
misalnya apendikstomi darurat) dapat memperburuk persepsi pasien akan rasa
sakit.
 - Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardia, hipertensi dan peningkatan
pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit.
R : dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.
 - Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.
R : pahami penyebab ketidaknyamanan, sediakan jaminan emosional.
 - Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi – Fowler ; miring.
R : mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi –
Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot pungguung
artritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal.
 - Observasi efek analgetik.
R : respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan
efek-efek sinergistik dengan zat-zat anastesi.
 - Kolaborasi, pemberian analgetik IV sesuai kebutuhan.
R : analgetik IV akan dengan segera mencapai pusat rasa saki, menimbulkan
penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.

B. EVALUASI
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan
atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien post Operatif meliputi : 5
1. Menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-
tanda hipoksia lainnya.
2. Meningkatkan tingkat kesadaran.
3. Keseimbangan cairan tubuh adekuat.
4. Pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau hilang.

DAFTAR REFERENSI :
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC.
http://arifs45.multiply.com/journal/item/8
http://kamus.landak.com/cari/cholecystectomy
http://www.mamashealth.com/stomach/cholecy.asp
http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=607
http://www.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=608
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, Edisi I. Jakarta : EGC.
Syaifudin, H, B.Ac, Drs. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Edisi 2.
Jakarta: EGC.

TONSILITIS

A.Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
-Tonsilitis Akut dan
-Tonsilitis Kronik

B.Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.
Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.


C.Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.
1.Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.

D. Manisfestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :
• Suhu tubuh naik sampai 40 oC.
• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.
• Lesu.
• Nyeri sendi, odinofagia.
• Anoreksia dan otolgia.
• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
• Tonsil membengkak.
• Pernapasan berbau.

E. Komplikasi
• Otitis media akut.
• Abses parafaring.
• Abses peritonsil.
• Bronkitis,
• Nefritis akut, artritis, miokarditis.
• Dermatitis.
• Pruritis.
• Furunkulosis.

F. Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

G. Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

DAFTAR PUSTAKA
Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.
Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli 2007

TONSILITIS

A.Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
-Tonsilitis Akut dan
-Tonsilitis Kronik

B.Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.
Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.


C.Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.
1.Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.

D. Manisfestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :
• Suhu tubuh naik sampai 40 oC.
• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.
• Lesu.
• Nyeri sendi, odinofagia.
• Anoreksia dan otolgia.
• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
• Tonsil membengkak.
• Pernapasan berbau.

E. Komplikasi
• Otitis media akut.
• Abses parafaring.
• Abses peritonsil.
• Bronkitis,
• Nefritis akut, artritis, miokarditis.
• Dermatitis.
• Pruritis.
• Furunkulosis.

F. Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

G. Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

DAFTAR PUSTAKA
Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.
Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli 2007